Lingkar
Opini
Ada
banyak wanita, termasuk teman-teman sekitar gue yang belum berhijab merasa,
“lantas, kalau gue belum hijaban, auto buruk gitu?”
Please,
gaes, mereka itu bukan karena gak mau dan gak ada niat, cuma karena emang belum
terdorong aja buat make. Karena standardisasi orang sekitar terhadap orang yang
berhijab pun makin rumit. Misal, “lo kan hijaban, masa sih masih main sama
cowok?” Seakan orang yang berhijab itu
gaboleh satu pun melakukan kesalahan. Bener-bener bakal diliat dan lebih
sensitif dikomentari. “Malu dong sama hijab lo.”
Pertama,
gue bahkan bingung sama pertanyaan itu. Seakan berhijab itu adalah membatasi.
Walaupun gue tahu hijab itu sendiri adalah batasan. Menurut gue sih, main sama
cowok itu bukan dosa yang harus diramaikan untuk dijauhi. Main sama cowok di
kepala lo itu kayak apa sih maknanya? Gue juga heran suka dapet nyinyiran cuma
karena kebiasaan hari-hari gue yang dekat sama cowok. Coba tanyain temen-temen
cowok gue satu-satu, kalau berteman sama mereka gue ngapain aja?
Kedua,
“Ya lebih baik berhati-hati, Pras.” Oke, terima kasih atas rambunya. Gue senang
berkomunikasi dengan banyak orang. Gue juga suka dengerin kepala banyak orang.
Dengan kebiasaan gue yang sok kenal sok dekat ini mustahil gue tiba-tiba
menjauhi semua teman cowok gue. Ya kalau batasan itu sendiri lo satu pikiran
sama gue. Gue gak maksa kalau lo masih teguh pendirian sama pikiran lo disaat
keadaan hari ini gak memungkinkan buat dipisah. Apalagi kalau lo ngampus di
negeri. Lo tahu lah kondisinya gimana. Dan gue mengambil pendapat dimana
dibolehkannya berbaur dalam pendidikan. Berbaur disini gak harus
sentuh-sentuhan juga kan? Ini sih gimana pembawaan diri sama prinsiplo aja.
Bukan berarti yang masih berhubungan sama cowok itu cewek yang gagal paham cari
ilmu. See?
Oke,
lompat ke perkara lain, masih dengan standardisasi cap baik pada wanita
berhijab. Menurut gue itu hanya perbedaan dimana yang satu udah mau menaati
aturan Tuhan, yang satu lagi belum menaati. Belum bukan berarti tidak mau kan?
Sebelumnya,
gue selalu merasa gerah sama cap ini-itu di kalangan temen-temen cewek gue yang
notabenenya kagak dipanggil ukhti. Bentar, gue mau ketawa si sebenernya. Sebab,
suka lucu aja kadang panggilan ukhti itu hanya disematkan pada wanita berhijab,
bahkan hanya pada mereka yang berhijab lebar. Gue termasuk orang yang masuk
menggunakan kerudung mana aja. Dan gue punya alasan kenapa gue kadang pake ini
atau itu. Kadang panjang ampe selutut gue, tapi kadang juga masih pake pashmina
yang gue pikir itu masih sesuai syaratnya yakni menutupi dada.
Oh
ya, gue disini belum mau nyodorin ayat mana yang mewajibkan lo buat hijab,
karena kalau lo kepo, seharusnya lo caritahu sendiri.
Banyak
banget nih, kasus dimana bagi mereka yang sudah berhijab ini lagi
semangat-semangatnya buat menggeber teman-temannya buat berhijab, biar satu
jalan katanya. Bahkan ampe bilang, “Ayo berhijab! Dosa loh nanti. Mau hijabnya
jadi yang pertama dan terakhir? pas lo mati? Telat dong.” Salah? Enggak sama
sekali. Tapi, lagi-lagi, why penggalan kata dosa selalu mengekor disaat
seseorang mengingatkan atau mengajak buat menaati aturan Tuhan. Seakan dosa dan
taat itu bagian yang tidak terpisahkan. Mau taat atau maksiat? Taat lo dapat
pahala, maksiat jelas lo dapat dosa. Salah? Ya enggak salah. Memang itu fakta.
Yang
salah adalah seringkali para pendakwah itu terlalu berapi-api dengan ilmu baru
yang digenggamnya. Tanpa mempelajari adab dalam menyampaikan, padahal jika
ingin meneladani Rasulullah, tidak akan ada kata-kata cacian yang terlontar
seakan-akan diri sudah bersih dari dosa. Seakan diri tiada kotor sama sekali.
Yang baru mengenal dan menyentuh ilmu baru biasanya tergesa-gesa, seperti gue
dahulu. Biasanya juga tok, “kami dengar dan kami taat,” sesuai ayat Quran.
Bukan berarti gak lo pelajari lebih dulu kan? Buat apa lo denger terus langsung
taat gitu aja tapi lo gak tau esensi lo berbuat sesuatu itu karena apa? Apa
yang sedang lo lakuin itu? Kenapa lo harus melakukan hal itu?
Kesalahan
selanjutnya bagi mereka yang baru menyentuh ilmu baru adalah sombong dengan apa
yang diketahuinya. Sombong adalah menolak kebenaran. Termasuk kebenaran dari
pendapat yang lain. Gue emang gak ada porsi buat bahas karena ilmu gue yang
cetek. Terus, kenapa ilmu cetek berani nulis opini sepanjang ini? Karena gue
gerah. Gue gerah sama kepala banyak orang yang mereka selalu menilai kebaikan
tiap wanita dipatok dengan apa yang dikenakan pada kepalanya. Seakan yang tidak
berhijab adalah orang yang diragukan untuk melakukan sesuatu. Seakan orang yang
berhijab sudah bisa dipercaya sepenuhnya.
Kemudian,
bagi mereka yang berdalih, “Mengingatkan untuk menaati perintah Tuhan adalah
tugas saya, Mbak.” Salah? Sama sekali tidak. Yang salah adalah ketika lo
ngingetin ampe ngejatuhin orang yang lo ingetin. Mulutlo yang bringas, apalagi
kalau lo bagian dari orang intelektual. Malu dong sama gelar yang bakal
didapat? Lo anak kampus tapi kayak gak pernah sekolah tinggi. Terlalu bar-bar.
Demi mengedepankan ego lo yang, “gue bakal dapat pahala kalau nyuruh orang
berbuat baik.” Salah? Enggak sama sekali. Yang salah adalah caralo, gaes.
Caralo. Yang seringnya bikin orang yang belum berhijrah kayak lo itu makin
males buat deketin Tuhan. Astaghfirullah... semoga gue gak gitu.
Caralo
yang salah itu melukai. Gue paham dan tahu ayat mana yang mewajibkan wanita
berhijab, termasuk pria. Hanya saja jenis hijabnya berbeda. Gue tau itu ayat
udah jelas banget, karena iman gue masih berada didalam obrolan Tuhan dalam alkitab.
Yang menyebalkan adalah ketika mereka yang sudah berpakaian takwa, itu bilang,
“gak usah plantar-plintir cari sana-sini pembelaan wanita demi hak kebebasan
lantas jadi tak apa jika tak berhijab. Toh ayat Qur’an sudah jelas.” Dan gak
jarang yang menyalahkan kaum penggerak feminis. Sebab di mata beberapa para
pendakwah, ada yang salah mengenai kaum feminis ini. Gue awalnya setuju, tapi
semakin gue pelajari, feminis itu kan menuntut persamaan hak sepenuhnya antara
kaum perempuan dan laki-laki, lantas apa salahnya? Karena kebanyakan dari
mereka tidak berhijab?
“Ah,
liat saja penggeraknya. Tubuh saja tidak dilindungi. Tidak mau taat.” Lagi-lagi
kenapa fokus pada hal yang menurut gue itu adalah hal yang seharusnya menjadi
personal? Personal secara vertikal. Yakni pada Tuhan.
Demikian,
lo bisa bebas mengatakan bahwa wanita yang belum atau tidak berhijab berarti
tidak baik? Lantas lo meng-auto-kan diri bahwa diri sudah baik? Ah, mengaku
saja! Dalih, “Aku mengingatkan karena aku pun belum merasa baik. Maka ayo
sama-sama berubah jadi lebih baik.” Tepat lo gunakan? Hatilo emang bukan ranah
gue, tapi sedikitnya pernah kan lo ngerasa, “Ah wanita itu pintar tapi merokok.
Gak hijaban pula. Mendingan gue lah yang penting udah hijaban.”
Ngaku?!
Bagi
gue, standardisasi baiknya seorang wanita itu bukanlah pada hijab. Dengan
catatan, konteks gue disini adalah HUBUNGAN SESAMA MANUSIA. Dalam ajaran yang
gue kenal, selain sama Tuhan dan manusia, gue juga harus berhubungan baik sama
alam. Toh, ada banyak nilai-nilai kemanusiaan yang justru wanita-wanita yang
belum berhijab ini malah sangat aktif disana dan yang berhijab justru sibuk
membangun lingkaran pertemanan yang itu-itu aja. Belum lagi kalau menolak
mendengarkan keluhan atau pendapat dari luar.
By
the way, waktu awal-awal gue pernah ngaji di suatu wadah, gue auto berkumpul
sama orang yang gitu-gitu aja. Sebab apa? gue menganut prinsip, “Carilah teman
yang sejalan. Yang dimana bersama mereka surga terlihat lebih dekat. Cari
pergaulan yang saling mengingatkan tentang Tuhan.” Itu..... disini gue jujur
aja, sangat baik memang, lo bakal jauh dari kata melenceng, lebih terorganisir
dalam melaksanakan sesuatu, lebih berhati-hati karena mayoritas disana
orang-orangnya ya begitu. Begitu gimana? Ya gitu. Tapi gue ngerasa ada yang
kurang. Apa coba? Pikiran gue yang disitu-situ aja. Sedangkan pikiran gue itu
cenderung melawan apa yang baru gue dapat. Melawan dalam artian gue harus
memikirkan matang-matang apa yang menjadi keyakinan gue. Kenapa gue harus
yakin? Gue harus tahu asal-usul kenapa gue harus melakukan itu? dan lain-lain.
Gue
lebih sering disalahin karena beda pendapat. Gue lebih sering dinasihati kalau
pikiran gue liar. Menurut temen gue yang satu frekuensi dan masih bisa diajak
diskusi, doi bilang sebenernya gue bukan liar. Tapi gue mencoba kritis terhadap
ilmu apapun yang masuk ke gue. Gak gue terima bulat-bulat, gak gue langsung
telen dalem-dalem. Dan gue rasa lingkaran pertemanan bersama mereka yang dalam
tanda kutip orang-orang yang lebih sering berkumpul dengan sesamanya itu
menjadikan pikiran gue terpenjara. GUE GERAH. Bukan pada ilmu-ilmu yang gue
dapet, tapi pada orang-orang yang gak bisa nerima pola pikir gue. Temen gue
bilang, gue gak cocok sama guru-guru disana. Karena ketika gue mengkritisi,
justru semua bakal dibalikkan dengan ayat, “kami dengar dan kami taat.”
Sebetulnya, apa yang salah dalam proses gue mencari?
Tapi
gaeeees, ada aja pendakwah yang keren-keren. Mau denger pendapat dari manapun.
Mau lihat pikiran kritis semacam gue, yang seringnya justru merekalah yang
mengenalkan gue pada islam sesungguhnya. Kita satu pikiran hijab itu wajib. Tapi gue
gak setuju jika wanita baik dimaknai dengan mereka yang berhijab. Ini
perkara personal dan umum si menurut gue ya. Berhijab itu hubungan manusia
dengan Tuhannya.
“Jangan
salahkan hijabnya.” SORRY. Tulisan gue dari awal gak ada tendensi buat
menyalahkan. Gue hanya mencoba meraba banyak kepala. APAKAH SUNGGUHAN
STANDARDISASI BAIK ATAU TIDAKNYA SEORANG MUSLIMAH ITU BERDASARKAN HIJABNYA?
ATAU BAHKAN PANJANG PENDEK HIJABNYA?
Gak
nyambung toh kalau dikaitkan, “Cah ayu.. sholehah ya. Hijaban. Pasti baik
orangnya.”
Seolah-olah
yang belum berhijab tidak baik(?)
Hijab
adalah salah satu jalan menuju diri yang baik. Ya, kalau kepada Tuhan. Tapi
tidak bisa menjadi ukuran dalam hubungan sesama manusia. Faktanya, gue punya
banyak teman yang sangat baik hubungannya sesama manusia. Mereka hijaban?
Enggak tuh, lebih tepatnya belum karena kebanyakan dari mereka ya mau tapi
nanti. Paling gue ingatkan, tanpa harus menjelekkan kondisi mereka yang
sekarang. Sebab bagi gue, itu adalah perjalanan spiritual masing-masing orang.
Terima
kasih sudah membaca.
Berhijablah
karena kau paham apa yang harus kau lakukan. Sebab memang itu sudah aturan.
Jika pun hanya ikut-ikutan, Tuhan tak segan memberi balasan. Tetap berbuat baik
meskipun kepalamu ditutupi atau tidak. Sebab baikmu pada manusia adalah jalan
menuju kebaikan yang dibolehkan oleh Tuhan. Kebaikan yang kau lakukan pasti
mengundang kebaikan-kebaikan yang lain. Cari jalanmu sendiri. Aku hanya
mengingatkan, usia kita tidak selamanya berumur panjang. Bijaksanalah. :)
Comments
Post a Comment