Skip to main content

Benarkah Standardisasi Baiknya Seorang Wanita adalah Berhijab? Menurut Gue Keliru!


Lingkar Opini


Ada banyak wanita, termasuk teman-teman sekitar gue yang belum berhijab merasa, “lantas, kalau gue belum hijaban, auto buruk gitu?”
Please, gaes, mereka itu bukan karena gak mau dan gak ada niat, cuma karena emang belum terdorong aja buat make. Karena standardisasi orang sekitar terhadap orang yang berhijab pun makin rumit. Misal, “lo kan hijaban, masa sih masih main sama cowok?”  Seakan orang yang berhijab itu gaboleh satu pun melakukan kesalahan. Bener-bener bakal diliat dan lebih sensitif dikomentari. “Malu dong sama hijab lo.”

Pertama, gue bahkan bingung sama pertanyaan itu. Seakan berhijab itu adalah membatasi. Walaupun gue tahu hijab itu sendiri adalah batasan. Menurut gue sih, main sama cowok itu bukan dosa yang harus diramaikan untuk dijauhi. Main sama cowok di kepala lo itu kayak apa sih maknanya? Gue juga heran suka dapet nyinyiran cuma karena kebiasaan hari-hari gue yang dekat sama cowok. Coba tanyain temen-temen cowok gue satu-satu, kalau berteman sama mereka gue ngapain aja?

Kedua, “Ya lebih baik berhati-hati, Pras.” Oke, terima kasih atas rambunya. Gue senang berkomunikasi dengan banyak orang. Gue juga suka dengerin kepala banyak orang. Dengan kebiasaan gue yang sok kenal sok dekat ini mustahil gue tiba-tiba menjauhi semua teman cowok gue. Ya kalau batasan itu sendiri lo satu pikiran sama gue. Gue gak maksa kalau lo masih teguh pendirian sama pikiran lo disaat keadaan hari ini gak memungkinkan buat dipisah. Apalagi kalau lo ngampus di negeri. Lo tahu lah kondisinya gimana. Dan gue mengambil pendapat dimana dibolehkannya berbaur dalam pendidikan. Berbaur disini gak harus sentuh-sentuhan juga kan? Ini sih gimana pembawaan diri sama prinsiplo aja. Bukan berarti yang masih berhubungan sama cowok itu cewek yang gagal paham cari ilmu. See?

Oke, lompat ke perkara lain, masih dengan standardisasi cap baik pada wanita berhijab. Menurut gue itu hanya perbedaan dimana yang satu udah mau menaati aturan Tuhan, yang satu lagi belum menaati. Belum bukan berarti tidak mau kan?

Sebelumnya, gue selalu merasa gerah sama cap ini-itu di kalangan temen-temen cewek gue yang notabenenya kagak dipanggil ukhti. Bentar, gue mau ketawa si sebenernya. Sebab, suka lucu aja kadang panggilan ukhti itu hanya disematkan pada wanita berhijab, bahkan hanya pada mereka yang berhijab lebar. Gue termasuk orang yang masuk menggunakan kerudung mana aja. Dan gue punya alasan kenapa gue kadang pake ini atau itu. Kadang panjang ampe selutut gue, tapi kadang juga masih pake pashmina yang gue pikir itu masih sesuai syaratnya yakni menutupi dada.

Oh ya, gue disini belum mau nyodorin ayat mana yang mewajibkan lo buat hijab, karena kalau lo kepo, seharusnya lo caritahu sendiri.

Banyak banget nih, kasus dimana bagi mereka yang sudah berhijab ini lagi semangat-semangatnya buat menggeber teman-temannya buat berhijab, biar satu jalan katanya. Bahkan ampe bilang, “Ayo berhijab! Dosa loh nanti. Mau hijabnya jadi yang pertama dan terakhir? pas lo mati? Telat dong.” Salah? Enggak sama sekali. Tapi, lagi-lagi, why penggalan kata dosa selalu mengekor disaat seseorang mengingatkan atau mengajak buat menaati aturan Tuhan. Seakan dosa dan taat itu bagian yang tidak terpisahkan. Mau taat atau maksiat? Taat lo dapat pahala, maksiat jelas lo dapat dosa. Salah? Ya enggak salah. Memang itu fakta.

Yang salah adalah seringkali para pendakwah itu terlalu berapi-api dengan ilmu baru yang digenggamnya. Tanpa mempelajari adab dalam menyampaikan, padahal jika ingin meneladani Rasulullah, tidak akan ada kata-kata cacian yang terlontar seakan-akan diri sudah bersih dari dosa. Seakan diri tiada kotor sama sekali. Yang baru mengenal dan menyentuh ilmu baru biasanya tergesa-gesa, seperti gue dahulu. Biasanya juga tok, “kami dengar dan kami taat,” sesuai ayat Quran. Bukan berarti gak lo pelajari lebih dulu kan? Buat apa lo denger terus langsung taat gitu aja tapi lo gak tau esensi lo berbuat sesuatu itu karena apa? Apa yang sedang lo lakuin itu? Kenapa lo harus melakukan hal itu?

Kesalahan selanjutnya bagi mereka yang baru menyentuh ilmu baru adalah sombong dengan apa yang diketahuinya. Sombong adalah menolak kebenaran. Termasuk kebenaran dari pendapat yang lain. Gue emang gak ada porsi buat bahas karena ilmu gue yang cetek. Terus, kenapa ilmu cetek berani nulis opini sepanjang ini? Karena gue gerah. Gue gerah sama kepala banyak orang yang mereka selalu menilai kebaikan tiap wanita dipatok dengan apa yang dikenakan pada kepalanya. Seakan yang tidak berhijab adalah orang yang diragukan untuk melakukan sesuatu. Seakan orang yang berhijab sudah bisa dipercaya sepenuhnya.

Kemudian, bagi mereka yang berdalih, “Mengingatkan untuk menaati perintah Tuhan adalah tugas saya, Mbak.” Salah? Sama sekali tidak. Yang salah adalah ketika lo ngingetin ampe ngejatuhin orang yang lo ingetin. Mulutlo yang bringas, apalagi kalau lo bagian dari orang intelektual. Malu dong sama gelar yang bakal didapat? Lo anak kampus tapi kayak gak pernah sekolah tinggi. Terlalu bar-bar. Demi mengedepankan ego lo yang, “gue bakal dapat pahala kalau nyuruh orang berbuat baik.” Salah? Enggak sama sekali. Yang salah adalah caralo, gaes. Caralo. Yang seringnya bikin orang yang belum berhijrah kayak lo itu makin males buat deketin Tuhan. Astaghfirullah... semoga gue gak gitu.
Caralo yang salah itu melukai. Gue paham dan tahu ayat mana yang mewajibkan wanita berhijab, termasuk pria. Hanya saja jenis hijabnya berbeda. Gue tau itu ayat udah jelas banget, karena iman gue masih berada didalam obrolan Tuhan dalam alkitab. Yang menyebalkan adalah ketika mereka yang sudah berpakaian takwa, itu bilang, “gak usah plantar-plintir cari sana-sini pembelaan wanita demi hak kebebasan lantas jadi tak apa jika tak berhijab. Toh ayat Qur’an sudah jelas.” Dan gak jarang yang menyalahkan kaum penggerak feminis. Sebab di mata beberapa para pendakwah, ada yang salah mengenai kaum feminis ini. Gue awalnya setuju, tapi semakin gue pelajari, feminis itu kan menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki, lantas apa salahnya? Karena kebanyakan dari mereka tidak berhijab? 

“Ah, liat saja penggeraknya. Tubuh saja tidak dilindungi. Tidak mau taat.” Lagi-lagi kenapa fokus pada hal yang menurut gue itu adalah hal yang seharusnya menjadi personal? Personal secara vertikal. Yakni pada Tuhan.

Demikian, lo bisa bebas mengatakan bahwa wanita yang belum atau tidak berhijab berarti tidak baik? Lantas lo meng-auto-kan diri bahwa diri sudah baik? Ah, mengaku saja! Dalih, “Aku mengingatkan karena aku pun belum merasa baik. Maka ayo sama-sama berubah jadi lebih baik.” Tepat lo gunakan? Hatilo emang bukan ranah gue, tapi sedikitnya pernah kan lo ngerasa, “Ah wanita itu pintar tapi merokok. Gak hijaban pula. Mendingan gue lah yang penting udah hijaban.”

Ngaku?!

Bagi gue, standardisasi baiknya seorang wanita itu bukanlah pada hijab. Dengan catatan, konteks gue disini adalah HUBUNGAN SESAMA MANUSIA. Dalam ajaran yang gue kenal, selain sama Tuhan dan manusia, gue juga harus berhubungan baik sama alam. Toh, ada banyak nilai-nilai kemanusiaan yang justru wanita-wanita yang belum berhijab ini malah sangat aktif disana dan yang berhijab justru sibuk membangun lingkaran pertemanan yang itu-itu aja. Belum lagi kalau menolak mendengarkan keluhan atau pendapat dari luar.

By the way, waktu awal-awal gue pernah ngaji di suatu wadah, gue auto berkumpul sama orang yang gitu-gitu aja. Sebab apa? gue menganut prinsip, “Carilah teman yang sejalan. Yang dimana bersama mereka surga terlihat lebih dekat. Cari pergaulan yang saling mengingatkan tentang Tuhan.” Itu..... disini gue jujur aja, sangat baik memang, lo bakal jauh dari kata melenceng, lebih terorganisir dalam melaksanakan sesuatu, lebih berhati-hati karena mayoritas disana orang-orangnya ya begitu. Begitu gimana? Ya gitu. Tapi gue ngerasa ada yang kurang. Apa coba? Pikiran gue yang disitu-situ aja. Sedangkan pikiran gue itu cenderung melawan apa yang baru gue dapat. Melawan dalam artian gue harus memikirkan matang-matang apa yang menjadi keyakinan gue. Kenapa gue harus yakin? Gue harus tahu asal-usul kenapa gue harus melakukan itu? dan lain-lain. 

Gue lebih sering disalahin karena beda pendapat. Gue lebih sering dinasihati kalau pikiran gue liar. Menurut temen gue yang satu frekuensi dan masih bisa diajak diskusi, doi bilang sebenernya gue bukan liar. Tapi gue mencoba kritis terhadap ilmu apapun yang masuk ke gue. Gak gue terima bulat-bulat, gak gue langsung telen dalem-dalem. Dan gue rasa lingkaran pertemanan bersama mereka yang dalam tanda kutip orang-orang yang lebih sering berkumpul dengan sesamanya itu menjadikan pikiran gue terpenjara. GUE GERAH. Bukan pada ilmu-ilmu yang gue dapet, tapi pada orang-orang yang gak bisa nerima pola pikir gue. Temen gue bilang, gue gak cocok sama guru-guru disana. Karena ketika gue mengkritisi, justru semua bakal dibalikkan dengan ayat, “kami dengar dan kami taat.” Sebetulnya, apa yang salah dalam proses gue mencari?

Tapi gaeeees, ada aja pendakwah yang keren-keren. Mau denger pendapat dari manapun. Mau lihat pikiran kritis semacam gue, yang seringnya justru merekalah yang mengenalkan gue pada islam sesungguhnya. Kita satu pikiran hijab itu wajib.  Tapi gue  gak setuju jika wanita baik dimaknai dengan mereka yang berhijab. Ini perkara personal dan umum si menurut gue ya. Berhijab itu hubungan manusia dengan Tuhannya.

“Jangan salahkan hijabnya.” SORRY. Tulisan gue dari awal gak ada tendensi buat menyalahkan. Gue hanya mencoba meraba banyak kepala. APAKAH SUNGGUHAN STANDARDISASI BAIK ATAU TIDAKNYA SEORANG MUSLIMAH ITU BERDASARKAN HIJABNYA? ATAU BAHKAN PANJANG PENDEK HIJABNYA?

Gak nyambung toh kalau dikaitkan, “Cah ayu.. sholehah ya. Hijaban. Pasti baik orangnya.”
Seolah-olah yang belum berhijab tidak baik(?)

Hijab adalah salah satu jalan menuju diri yang baik. Ya, kalau kepada Tuhan. Tapi tidak bisa menjadi ukuran dalam hubungan sesama manusia. Faktanya, gue punya banyak teman yang sangat baik hubungannya sesama manusia. Mereka hijaban? Enggak tuh, lebih tepatnya belum karena kebanyakan dari mereka ya mau tapi nanti. Paling gue ingatkan, tanpa harus menjelekkan kondisi mereka yang sekarang. Sebab bagi gue, itu adalah perjalanan spiritual masing-masing orang.

Terima kasih sudah membaca.

Berhijablah karena kau paham apa yang harus kau lakukan. Sebab memang itu sudah aturan. Jika pun hanya ikut-ikutan, Tuhan tak segan memberi balasan. Tetap berbuat baik meskipun kepalamu ditutupi atau tidak. Sebab baikmu pada manusia adalah jalan menuju kebaikan yang dibolehkan oleh Tuhan. Kebaikan yang kau lakukan pasti mengundang kebaikan-kebaikan yang lain. Cari jalanmu sendiri. Aku hanya mengingatkan, usia kita tidak selamanya berumur panjang. Bijaksanalah. :)


Comments

Popular posts from this blog

ONLY GOD CAN JUDGE ME BERBANDING LURUS DENGAN URUS SAJA URUSANMU?

  Oke, gue baru aja baca kiriman salah satu anggota dalam grup. Pertama kali gue baca gue langsung mengangkat alis gue. Judulnya kapital semua, persis kayak judul Lingkar Opini gue kali ini. Tulisan tersebut berasal dari salah satu screenshotan yang gue pikir karya tulis dari pemilik sebuah website gue pikir (sorry kalau salah) dan itu berisi tentang hal-hal kebaikan tentang dakwah. And sorry to say sorry, gue gak mau labelling disini alias sebut merek. Gue gatel banget pengen nimpalin di grup, cuma gue rasa itu bukan forum jadi gue pikir lebih baik PC langsung orangnya.   Tulisan gue ini lagi-lagi pengen ngajak kepala orang buat melihat dari kacamata lain. Walaupun, kesimpulan setelah membaca gue serahkan pada pembaca. Isi screenshot tsb begini: ONLY GOD CAN JUDGE ME Sejatinya perkataan “Only God can judge me” Hanya untuk mereka yang terlanjur senang dengan maksiat yang telah mereka lakukan ketika diingatkan tentang kesalahan-kesalahan barulah kata-kata tersebut

Fakta Monokrom Jingga

Monokrom Jingga adalah kisah perjalanan seorang perempuan yang jatuh cinta terhadap sahabatnya sendiri. Ini adalah tulisan ke-sekian gue yang gue putusin buat “udahan” dalam menulis. Gue adalah seorang pengarang yang masih belum disiplin dalam menulis. Gue susah fokus. Ada banyak tulisan yang mau gue jadiin novel dan itu masih berceceran. Sampai sekarang gue punya sebanyak tujuh naskah. Dua sudah selesai yaitu Monokrom Jingga (kedua) dan BIMESA atau Biarkan Mengalir seperti Air (pertama). Sisanya lima naskah masih ogah-ogahan gue sentuh.   Buruknya gue dalam menulis ya gak disiplin. Sedih gue juga. Tahun ini mau gue usahain gue harus disiplin sama apa yang gue mau. Oke, gue mau kasih tahu 3 Fakta tentang Monokrom Jingga yang tadinya mau gue pendam aja, alias cukup gue sama teman pena aja yang tahu “apa sih sebenarnya yang bikin lo nulis tentang beginian? Sebenarnya ini kisah siapa?” 3 FAKTA MONOKROM JINGGA 1.       Mojing adalah karya yang gak akan pernah selesai. Kena

Setelah SMA, Ngapain?

Setelah SMA, gue mau kemana ya? Haloo gaes. Buat adik-adik yang lagi gundah gulana mikirin masa depan hidup lo untuk ke depannya, gue mau memberi pencerahan sedikit. Gue mau berceloteh dari sudut pandang gue yang hanya seorang manusia biasa-biasa aja. Bisa karena gue belajar. Gue gak pinter, otak gue gak seencer teman-teman gue. Gue paling males mikir (please gak usah dijawab, “Males mikir? Mati aja lo.” Gue mau jadi pemikir pada hal yang gue suka aja. Menulis, misalnya. Eksplor dunia lebih luas lagi, misalnya. Gue tertarik sama literasi, hukum, politik, keyakinan seseorang, juga seni.Gue tertarik sama cowok dan duit juga. Normal guuuullllllssss WKWKWK OK LANJOOOOOOOT Udah berapa hari lo jadi anak SMA/SMK kelas tiga? Gue cuma mau ngingetin, kelas tiga itu bentar banget gaes. Singkat gitu waktunya, tau-tau aja besok udah Ujian Nasional atau Ujian Praktik.   Paling-paling lo bakal rasain capeknya jadi kelas tiga. Tapi yang lo rasain di kelas tiga ini masih di tahap san